Aku sudah melihat hampir semua kue dalam etalase itu
selama setengah jam. Aku tak juga yakin menemukan kue yang kuinginkan.
Perempuan setinggi sekitar 155 cm yang tak lain sebagai penjaga toko kue itu
sampai bosan melihatku yang tak segera membeli satu di antara semua kue yang
dijualnya. Selain itu, enam lagu mulai dari Aku
Ingin Pulang, Apakah Ada Bedanya, Berita Kepada Kawan, Cintaku Kandas di
Rerumputan, Elegi Esok Pagi, hingga Isyu
hampir selesai dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade di dalam toko kue itu. Ya, alunan
musik sarat makna ciptaan Ebiet G. Ade turut menemaniku melihat kue-kue yang
tersusun rapi di dalam etalase berwarna putih tulang itu. Aku begitu menikmati
musik ciptaan Ebiet. Sepintas aku teringat kata-kata Ebiet yang menyatakan bahwa
dirinya lebih senang disebut penyair atau sastrawan daripada disebut sebagai
seorang penyanyi.
Saat
aku hampir melangkahkan kaki untuk berpindah ke toko kue lainnya. Seorang
lelaki tiba-tiba memanggilku.
“Mbak,
cari kue untuk apa?”
Aku
menoleh ke samping dan retina mataku menangkap seorang lelaki tampan berbadan
tegap yang usianya mungkin 28 tahun atau mungkin lebih dari itu.
“Kue
untuk ulang tahun,” jawabku mantap.
“Mbak
ingin kue ulang tahun yang harganya berapa?”
“Oh,
harga bukan persoalan. Yang penting kuenya seperti yang kuinginkan.”
“Bagaimana
kalau kue yang ini, Mbak?”
Lelaki
itu menunjuk sebuah kue yang bulat berwarna merah jambu dengan hiasan cream
berbentuk bunga matahari di atasnya. Itu
kue yang sudah beberapa kali kulihat dan terlihat biasa bagiku.
“Kue
itu saya sendiri yang membuatnya,” ucap lelaki tersebut.
Kue
yang kupandang sebelah mata itu mendadak menjadi sangat kuperhatikan. Tanpa
pikir panjang, aku mengangguk tanda setuju untuk membeli kue itu.
“Ya,
ini kue yang kucari.”
Lelaki
itu tampak tersenyum senang dengan jawabanku.
“Kuenya
mau dibawa sendiri atau diantar, Mbak?”
“Dibawa
sendiri saja, Mas.”
Lelaki
itu tampak ragu dengan jawabanku, sepertinya dia berubah pikiran.
“Mbak,
sebenarnya kue ini tidak dijual. Kalau Mbak ingin kue yang seperti ini, nanti
saya buatkan lagi. Bagaiamana kalau kue yang itu saja, Mbak?”
“Nggak Mas, aku ingin kue yang ini.”
“Bagaimana
kalau kue yang itu saja, Mbak?”
Lelaki
itu menunjuk kue yang lainnya.
“Nggak. Ini saja!”
“Tapi
kue ini tidak dijual, Mbak.”
“Kenapa
tidak dijual, Mas?”
“Karena
kue ini dibuat bukan untuk dijual, Mbak.”
Aku
tertawa kecil mendengar jawabannya.
“Ya
sudah, Mas jual kue ini dengan harga berapa juta? tanyaku bercanda.
“Tiga
juta, Mbak.” Lelaki itu tersenyum.
Aku
terperanjat, kaget bukan main. Bagaimana bisa harga kue seperti itu harganya
sampai tiga juta, tapi kue itu tampak semakin menarik di mataku. Aku pun merasa
penasaran.
“Kue
ini benar-benar tidak dijual ya, Mas?”
“Tidak,
Mbak.”
Lelaki
itu tersenyum. Kelihatan senang seperti menang lotre. Lelaki itu menunjuk lagi
kepada kue yang lainnya.
“Bagaimana
kalau kue itu saja, Mbak?”
Aku
tak menggubris tawarannya. Aku mengeluarkan dompet dari dalam tasku. Aku
mengeluarkan semua isi dalam dompetku. Ternyata uangku hanya ada 800 ribu.
Sangat jauh dari harga yang disebutkan lelaki itu. Tapi kuletakkan saja uang
itu di atas etalase.
Lelaki
itu tertegun sejenak.
“Mbak,
ingin beli kue ini?”
“Ya,
tentu saja Mas. Tapi uangku hanya ada 800 ribu saja. Berarti nanti aku harus
pulang berjalan kaki. Aku tidak terlalu paham mengenai kue. Aku menghargai
perasaanmu yang mungkin sudah susah payah membuat kue ini, Mas. Aku tertarik
dengan kue buatanmu ini, Mas. Makanya, aku sangat ingin membeli kue yang kau
jual ini, Mas.
Lelaki
itu berpikir sekitar 30 detik. Raut mukanya menunjukkan kalau lelaki itu
menyerah.
“Baiklah,
Mbak. Ambil saja kue ini. Mbak, butuh ongkos berapa untuk pulang ke rumah?”
“lima
belas ribu cukup, Mas.”
“Memang
rumah Mbak di mana?”
“Di
Ungaran.”
“Ungaran
kan lumayan jauh dari sini, Mbak.”
“Memang
Mas, tapi dilewati bis kok.”
“Mbak
mau naik bis sambil bawa kue buatan saya ini?”
“Mau
bagaimana lagi, Mas. Memangnya aku harus naik apa lagi? Mas tersinggung ya
kalau kue ini dibawa naik bis? Kalau begitu aku jalan kaki saja, Mas.”
“Mbak
mau bawa kue ini sambil jalan kaki?”
“Ya,
Mas. Nggak masalah kok.”
Tatapan
tajam lelaki itu mengarah kepadaku.
“Nanti
Mbak bisa ditabrak kendaraan di jalan.
Ambil saja uang 200 ribu ini untuk naik taksi, Mbak.
Aku
hanya terdiam.
“Kurang
ya, Mbak?”
“Nggak kok, Mas. Itu lebih dari cukup.”
Lelaki
itu tersenyum. Tampak semakin tampan.
“Apa
Mbak perlu kartu ucapan juga untuk kue ulang tahun ini?”
“Nggak, Mas. Terima kasih.”
Lelaki
itu tampak berpikir.
“Memangnya
kue ini bukan untuk seseorang, Mbak?”
“Diberikan
untuk seseorang kok, Mas.”
“Seseorang
yang sangat istimewa ya, Mbak?”
“Ya,
pasti!”
“Mbak
sebaiknya menambahkan ucapannya. Kue buatan saya ini hanya untuk diantar dengan
ucapan biar lebih menarik. Kutip saja puisi dari sastrawan terkenal siapa
begitu, Mbak.”
Aku
pun mengangguk.
“Aku
setuju, Mas. Tapi Mas saja yang memilihkan puisinya ya, dan tolong dituliskan.”
Lelaki
itu bergegas meraih penanya yang ada di atas mejanya dekat etalase yang berisi
kue-kue. Lelaki itu juga menyodorkan sebuah buku kumpulan puisi.
“Mbak,
ingin yang mana? Kasih sayang, persahabatan atau percintaan?”
“Yang
mana saja, Mas. Yang penting bagus dan nggak
aneh.”
Lelaki
itu tertawa mendengarkan perkataanku. Dia segera menulis dan tampak lancar
menuliskan puisi itu. Terlihat kalau dia
sangat hapal di luar kepala. Aku sedikit mengintip yang ditulisnya. Aku kaget
sekaligus kagum pada lelaki itu. Kutipan puisi yang ditulisnya diambil dari Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana karya
Sapardi Djoko Damono.
“Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan
kepada air yang menjadikannya tiada
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan
kata yang tak sempat diucapkan
Kayu
kepada api yang menjadikannya abu.”
Aku
terharu membaca kutipan puisi yang ditulisnya itu.
“Bagaimana,
Mbak? Bagus tidak?”
“Bagus
banget, Mas.”
“Ya
memang bagus. Sekarang Mbak tandatangani dulu kartu ucapan ini biar tidak
lupa.”
Aku
menolaknya.
“Mas
saja yang tanda tangan.”
“Memangnya
kenapa, Mbak?”
“Ya
karena Mas yang menulis jadi mesti tanda tangan, Mas.”
“Maksud
Mbak apa?”
“Mas
nggak mau mengucapkan selamat ulang
tahun untukku? Aku memang nggak pantas
diberi ucapan selamat ulang tahun.”
“Sebentar,
jadi kue dan kartu ucapan ini untuk Mbak, begitu?”
“Ya,
hari ini aku ulang tahun.”
“Mbak
beli kue ini untuk mbak sendiri?”
“Memangnya
kenapa, Mas? Apa salahnya?”
“Tidak
salah sih, Mbak,” lelaki itu
menatapku lekat-lekat.
“Seharusnya
kan keluarga atau pacar Mbak yang memberikan kue ini.”
“Mereka
semua sangat sibuk dan sudah lupa ulang tahunku, lagipula aku masih lajang,
Mas.”
“Hanya
memberikan kue dan mengucapkan selamat ulang tahun tidak mengganggu kesibukan,
Mbak.”
“Tapi
nyatanya memang begitu, Mas. Makanya aku beli kue dan mengucapkan selamat ulang
tahun ini untukku sendiri karena kamu juga tidak mau mengucapkan selamat ulang
tahun kepadaku.”
Aku
segera mengambil kue dan memberikan uangnya kepada lelaki itu.
“Terima
kasih, Mas. Seumur hidup baru sekali ini aku beli kue yang harganya 800 ribu.”
Aku
tersenyum kepadanya dan bergegas keluar dari toko kue itu.
Lelaki
itu mengejar langkahku.
“Ini
uangnya, Mbak,” katanya sembari meletakkan uang itu di atas kotak pembungkus
kue yang kubawa.
“Kenapa
Mas, kok uangnya dikembalikan lagi?”
Lelaki
itu mendadak merampas kue yang kubawa. Aku coba mengambilnya, tapi lelaki itu
menghindar.
“Kue
ini tidak perlu dibeli, Mbak. Kue ini hadiah ulang tahun dari saya untuk Mbak.
Selamat ulang tahun ya. Sekarang saya akan mengantar Mbak pulang sampai rumah.
Mbak cukup tunjukkan saja arah jalannya ya. Itu mobil saya, Mbak. Mari.”
Lelaki
itu menunjuk sebuah BMW hitam yang nongkrong di depan toko kue ini.
“Perkenalkan
nama saya Abi, pemilik toko kue ini, Mbak,” ucap lelaki itu.
Aku
terperangah. Sungguh tak menyangka. Sejak pertemuan itu, hidupku berubah
menjadi lebih bahagia dengan kehadirannya. Sebuah kue ulang tahun pemberiannya
pada hari itu pun menjadi hadiah yang begitu istimewa bagiku.
PERTEMUAN TAKDIR |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar