اَللّه is Always With Me

Rabu, 07 Mei 2014

KUE ULANG TAHUN ISTIMEWA

            Aku sudah melihat hampir semua kue dalam etalase itu selama setengah jam. Aku tak juga yakin menemukan kue yang kuinginkan. Perempuan setinggi sekitar 155 cm yang tak lain sebagai penjaga toko kue itu sampai bosan melihatku yang tak segera membeli satu di antara semua kue yang dijualnya. Selain itu, enam lagu mulai dari Aku Ingin Pulang, Apakah Ada Bedanya, Berita Kepada Kawan, Cintaku Kandas di Rerumputan, Elegi Esok Pagi, hingga Isyu hampir selesai dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade di dalam toko kue itu. Ya, alunan musik sarat makna ciptaan Ebiet G. Ade turut menemaniku melihat kue-kue yang tersusun rapi di dalam etalase berwarna putih tulang itu. Aku begitu menikmati musik ciptaan Ebiet. Sepintas aku teringat kata-kata Ebiet yang menyatakan bahwa dirinya lebih senang disebut penyair atau sastrawan daripada disebut sebagai seorang penyanyi.
            Saat aku hampir melangkahkan kaki untuk berpindah ke toko kue lainnya. Seorang lelaki tiba-tiba memanggilku.
            “Mbak, cari kue untuk apa?”
            Aku menoleh ke samping dan retina mataku menangkap seorang lelaki tampan berbadan tegap yang usianya mungkin 28 tahun atau mungkin lebih dari itu.
            “Kue untuk ulang tahun,” jawabku mantap.
            “Mbak ingin kue ulang tahun yang harganya berapa?”
            “Oh, harga bukan persoalan. Yang penting kuenya seperti yang kuinginkan.”
            “Bagaimana kalau kue yang ini, Mbak?”
            Lelaki itu menunjuk sebuah kue yang bulat berwarna merah jambu dengan hiasan cream berbentuk  bunga matahari di atasnya. Itu kue yang sudah beberapa kali kulihat dan terlihat biasa bagiku.
            “Kue itu saya sendiri yang membuatnya,” ucap lelaki tersebut.
            Kue yang kupandang sebelah mata itu mendadak menjadi sangat kuperhatikan. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk tanda setuju untuk membeli kue itu.
            “Ya, ini kue yang kucari.”
            Lelaki itu tampak tersenyum senang dengan jawabanku.
            “Kuenya mau dibawa sendiri atau diantar, Mbak?”
            “Dibawa sendiri saja, Mas.”
            Lelaki itu tampak ragu dengan jawabanku, sepertinya dia berubah pikiran.
            “Mbak, sebenarnya kue ini tidak dijual. Kalau Mbak ingin kue yang seperti ini, nanti saya buatkan lagi. Bagaiamana kalau kue yang itu saja, Mbak?”
            Nggak Mas, aku ingin kue yang ini.”
            “Bagaimana kalau kue yang itu saja, Mbak?”
            Lelaki itu menunjuk kue yang lainnya.
            Nggak. Ini saja!”
            “Tapi kue ini tidak dijual, Mbak.”
            “Kenapa tidak dijual, Mas?”
            “Karena kue ini dibuat bukan untuk dijual, Mbak.”
            Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.
            “Ya sudah, Mas jual kue ini dengan harga berapa juta? tanyaku bercanda.
            “Tiga juta, Mbak.” Lelaki itu tersenyum.
            Aku terperanjat, kaget bukan main. Bagaimana bisa harga kue seperti itu harganya sampai tiga juta, tapi kue itu tampak semakin menarik di mataku. Aku pun merasa penasaran.
            “Kue ini benar-benar tidak dijual ya, Mas?”
            “Tidak, Mbak.”
            Lelaki itu tersenyum. Kelihatan senang seperti menang lotre. Lelaki itu menunjuk lagi kepada kue yang lainnya.
            “Bagaimana kalau kue itu saja, Mbak?”
            Aku tak menggubris tawarannya. Aku mengeluarkan dompet dari dalam tasku. Aku mengeluarkan semua isi dalam dompetku. Ternyata uangku hanya ada 800 ribu. Sangat jauh dari harga yang disebutkan lelaki itu. Tapi kuletakkan saja uang itu di atas etalase.
            Lelaki itu tertegun sejenak.
            “Mbak, ingin beli kue ini?”
            “Ya, tentu saja Mas. Tapi uangku hanya ada 800 ribu saja. Berarti nanti aku harus pulang berjalan kaki. Aku tidak terlalu paham mengenai kue. Aku menghargai perasaanmu yang mungkin sudah susah payah membuat kue ini, Mas. Aku tertarik dengan kue buatanmu ini, Mas. Makanya, aku sangat ingin membeli kue yang kau jual ini, Mas.
            Lelaki itu berpikir sekitar 30 detik. Raut mukanya menunjukkan kalau lelaki itu menyerah.
            “Baiklah, Mbak. Ambil saja kue ini. Mbak, butuh ongkos berapa untuk pulang ke rumah?”
            “lima belas ribu cukup, Mas.”
            “Memang rumah Mbak di mana?”
            “Di Ungaran.”
            “Ungaran kan lumayan jauh dari sini, Mbak.”
            “Memang Mas, tapi dilewati bis kok.”
            “Mbak mau naik bis sambil bawa kue buatan saya ini?”
            “Mau bagaimana lagi, Mas. Memangnya aku harus naik apa lagi? Mas tersinggung ya kalau kue ini dibawa naik bis? Kalau begitu aku jalan kaki saja, Mas.”
            “Mbak mau bawa kue ini sambil jalan kaki?”
            “Ya, Mas. Nggak masalah kok.”
            Tatapan tajam lelaki itu mengarah kepadaku.
            “Nanti Mbak bisa ditabrak kendaraan di  jalan. Ambil saja uang 200 ribu ini untuk naik taksi, Mbak.
            Aku hanya terdiam.
            “Kurang ya, Mbak?”
            Nggak kok, Mas. Itu lebih dari cukup.”
            Lelaki itu tersenyum. Tampak semakin tampan.
            “Apa Mbak perlu kartu ucapan juga untuk kue ulang tahun ini?”
            Nggak, Mas. Terima kasih.”
            Lelaki itu tampak berpikir.
            “Memangnya kue ini bukan untuk seseorang, Mbak?”
            “Diberikan untuk seseorang  kok, Mas.”
            “Seseorang yang sangat istimewa ya, Mbak?”
            “Ya, pasti!”
            “Mbak sebaiknya menambahkan ucapannya. Kue buatan saya ini hanya untuk diantar dengan ucapan biar lebih menarik. Kutip saja puisi dari sastrawan terkenal siapa begitu, Mbak.”
            Aku pun mengangguk.
            “Aku setuju, Mas. Tapi Mas saja yang memilihkan puisinya ya, dan tolong dituliskan.”
            Lelaki itu bergegas meraih penanya yang ada di atas mejanya dekat etalase yang berisi kue-kue. Lelaki itu juga menyodorkan sebuah buku kumpulan puisi.
            “Mbak, ingin yang mana? Kasih sayang, persahabatan atau percintaan?”
            “Yang mana saja, Mas. Yang penting bagus dan nggak aneh.”
            Lelaki itu tertawa mendengarkan perkataanku. Dia segera menulis dan tampak lancar menuliskan puisi itu.  Terlihat kalau dia sangat hapal di luar kepala. Aku sedikit mengintip yang ditulisnya. Aku kaget sekaligus kagum pada lelaki itu. Kutipan puisi yang ditulisnya diambil dari Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana karya Sapardi Djoko Damono.
            “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
             Lewat kata yang tak sempat disampaikan
            Awan kepada air yang menjadikannya tiada
            Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
            Dengan kata yang tak sempat diucapkan
            Kayu kepada api yang menjadikannya abu.”

            Aku terharu membaca kutipan puisi yang ditulisnya itu.
            “Bagaimana, Mbak? Bagus tidak?”
            “Bagus banget, Mas.”
            “Ya memang bagus. Sekarang Mbak tandatangani dulu kartu ucapan ini biar tidak lupa.”
            Aku menolaknya.
            “Mas saja yang tanda tangan.”
            “Memangnya kenapa, Mbak?”
            “Ya karena Mas yang menulis jadi mesti tanda tangan, Mas.”
            “Maksud Mbak apa?”
            “Mas nggak mau mengucapkan selamat ulang tahun untukku? Aku memang nggak pantas diberi ucapan selamat ulang tahun.”
            “Sebentar, jadi kue dan kartu ucapan ini untuk Mbak, begitu?”
            “Ya, hari ini aku ulang tahun.”
            “Mbak beli kue ini untuk mbak sendiri?”
            “Memangnya kenapa, Mas? Apa salahnya?”
            “Tidak salah sih, Mbak,” lelaki itu menatapku lekat-lekat.
            “Seharusnya kan keluarga atau pacar Mbak yang memberikan kue ini.”
            “Mereka semua sangat sibuk dan sudah lupa ulang tahunku, lagipula aku masih lajang, Mas.”
            “Hanya memberikan kue dan mengucapkan selamat ulang tahun tidak mengganggu kesibukan, Mbak.”
            “Tapi nyatanya memang begitu, Mas. Makanya aku beli kue dan mengucapkan selamat ulang tahun ini untukku sendiri karena kamu juga tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.”
            Aku segera mengambil kue dan memberikan uangnya kepada lelaki itu.
            “Terima kasih, Mas. Seumur hidup baru sekali ini aku beli kue yang harganya 800 ribu.”
            Aku tersenyum kepadanya dan bergegas keluar dari toko kue itu.
            Lelaki itu mengejar langkahku.
            “Ini uangnya, Mbak,” katanya sembari meletakkan uang itu di atas kotak pembungkus kue yang kubawa.
            “Kenapa Mas, kok uangnya dikembalikan lagi?”
            Lelaki itu mendadak merampas kue yang kubawa. Aku coba mengambilnya, tapi lelaki itu menghindar.
            “Kue ini tidak perlu dibeli, Mbak. Kue ini hadiah ulang tahun dari saya untuk Mbak. Selamat ulang tahun ya. Sekarang saya akan mengantar Mbak pulang sampai rumah. Mbak cukup tunjukkan saja arah jalannya ya. Itu mobil saya, Mbak. Mari.”
            Lelaki itu menunjuk sebuah BMW hitam yang nongkrong di depan toko kue ini.
            “Perkenalkan nama saya Abi, pemilik toko kue ini, Mbak,” ucap lelaki itu.
            Aku terperangah. Sungguh tak menyangka. Sejak pertemuan itu, hidupku berubah menjadi lebih bahagia dengan kehadirannya. Sebuah kue ulang tahun pemberiannya pada hari itu pun menjadi hadiah yang begitu istimewa bagiku.

PERTEMUAN TAKDIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar