Hubungan Karya Sastra dan Pengarang (Novel: Kalau Tak Untung)
Novel yang berjudul Kalau
Tak Untung (1933) ini merupakan novel yang dikarang oleh salah satu seorang wanita novelis
pertama atau pujangga putri pertama saat itu yang paling berbakat di Hindia
Belanda, dia bernama Sariamin Ismail. Namun, pada novel Kalau Tak Untung ini Sariamin Ismail menggunakan nama samaran yaitu
Selasih. Sariamin Ismail dilahirkan di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909, dan
meninggal pada usia 86 tahun. Sariamin Ismail, sastrawan yang pernah menjadi Ketua
Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukittingi (1928-1930) ini juga
memiliki beberapa nama Samaran lainnya yaitu Seleguri, Sekejut Gelingging, Seri
Tanjung Dahlia, Seri Gunting, Seri Gunung, Bunda Kanduang, Mande Rubiah, dan
Ibu Sejati. Sariamin Ismail menggunakan beberapa nama samaran tersebut untuk
menghindari penciuman pihak keamanan (polisi) kolonial dan demi perjuangan.
Sariamin Ismail
menemukan nama Selasih sebagai salah satu pilihan nama samarannya itu saat dia
secara tak sengaja mulai bermimpi untuk menjadi pujangga pada tahun 1932. Nama
Selasih adalah nama “sejenis tumbuh-tumbuhan yang keadaannya hampir sama dengan
Seleguri: tak berguna, bunga yang amat kecil dan tak berseri serta hanya dicari
sebagai obat demam saja. Pada tahun 1933 itu, dia selesai menulis novel Kalau Tak Untung tersebut. Dia merasa
ragu menentukan dengan nama apa yang akan digunakan sebelum novelnya itu
diterbitkan. Awalnya dia berniat menggunakan nama Ibu Sejati tetapi karena nama
itu sudah dikenal luas sebagai nama seorang penulis yang bersikap melawan
kebijakan pemerintah colonial, akahirnya dia pun memilih nama Selasih tersebut.
Novel Kalau Tak Untung miliknya itu
mendapatkan apresiasi yang baik dari Datuk Madjoindo melalui radio setelah
beberapa hari diluncurkan.
Selasih lulus SD 5 tahun (Gouvernement School) pada tahun 1921, kemudian melanjutkan
pendidikan di sekolah guru (Meisjes
Normaal School) dan tamat pada tahun 1925. Setelah lulus dari sekolah guru
itu lah, selasih mulai mengeluti dunia Pendidikan. Pada Tahun 1925, Selasih
mengajar di Bengkulu, namun tidak lama kemudian Selasih diangkat sebagai kepala
sekolah. Tahun 1930 Selasih dipindahkan ke Padangpanjang, tahun 1939 Selasih
dipindahkan ke Aceh dan di daerah ini hanya bertahan dua tahun. Mulai tahun
1941 ia mengajar di Kuantan sampai tahun 1968 Selasih masih terus berkecimpung
di dunia pendidikan di daerah Riau. Selasih juga pernah menjadi anggota DPRD
Riau (1947-1948), pernah menjadi anggota organisasi politik Indonesia Muda dan
Gerakan ingin Merdeka.
Selama masih menjadi guru, Selasih juga berperan aktif
dalam pertunjukkan sandiwara tentang pendidikan. Selasih mementaskan sejumlah
sandiwaranya itu di Kuantan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan lain-lain. Bagi
Selasih, menulis di zaman penjajahan itu tidaklah mudah karena adanya berbagai
pembatasan terhadap karya tulis dan juga pengarangnya yang harus siap
mempertanggungjawabkan ide-ide yang dituangkan dalam karya tulisnya itu.
Selasih pun selalu merasa terancam bila terbukti dalam karyanya itu terbukti
adanya perlawanan terhadap rezim penjajah. Pada zaman itu pengarang juga
menjadi pejuang demi kemerdekaan tanah air meskipun hanya melalui tinta dan
kertas serta pikiran-pikirannya.
Selasih terdorong untuk menulis yaitu mulai bulan Mei
1926, saat dia masih menjadi guru di Matur. Seorang guru yang pernah mendidik
Selasih yang bernama Sitti Noer Mariah Naro sedikit memaksa Selasih menulis
untuk majalah Assyarag yang terbit di Padang. Majalah tersebut adalah majalah
milik Persatuan Guru Perempuan dan banyak mendorong bakat-bakat baru karena
memberikan kesempatan pada setiap orang
untuk menuangkan gagasan-gagasannya yang inovatif. Selasih mulai terlihat
perkembangan bakat menulisnya setelah dia pindah di Lubuk Sikaping pada tahun
1927. Di tempat bekerjanya itu lah, Selasih lebih menemukan bermacam-macam
bacaan yang mendorong bakatnya untuk menulis dan terlebih lagi saat itu selasih
bertemu dengan Abdul Latief yang memperkenalkannya terhadap majalah Seri Pustaka, Panji Pustaka, dan Bintang Hindia. Saat Selasih pindah di
Bukittinggi, wawasannya menjadi lebih luas dengan adanya beberapa surat kabar
yaitu Persamaan, Sinar Sumatera, dan Sumatera Bond. Selasih pun
mengembangkan bakatnya menulis pada media massa tersebut baik di bidang sastra,
seni-budaya, pendidikan, dan juga politik.
Selasih merasa senang dan puas saat novel karangannya
yang berjudul Kalau Tak Untung telah
diterbitkan oleh Balai Pustaka karena dia mendapat imbalan dari Balai Pustaka
yang benar-benar membanggakan. Selasih yang melewati tiga zaman yaitu zaman Belanda,
Jepang dan Kemerdekaan, memperoleh banyak pengalaman berharga. Selasih juga
sempat berhenti menulis sejak penjajahan Jepang dan dia kembali menulis lagi
pada awal tahun 1980-an. Pada kemunculannya yang kedua ini, Selasih berkenan
mengarang dan menulis kembali karena dorongan dari Menteri P dan K yaitu Dr.
Daoed Joesoef yang menemuinya pada 18 November 1981 yang memintanya untuk
menulis lagi. Selasih pun menyanggupinya dan pada tahun1986 dia berhasil
menulis dua puluh satu naskah yang tebalnya rata-rata 200 halaman dan
sebagiannya diterbitkan dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah yang dikelola pihak P dan K. Buku-bukunya itu diterbitkan dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Minangkabau.
Novel terakhir karangan Selasih berjudul Kembali ke Pangkuan Ayah diterbitkan
oleh Mutiara Sumber Widya pada tahun 1986. Novel ini diterbitkan ulang oleh
Balai Pustaka pada tahun 1977. Dari berbagai karya sastra karangannya itu,
Selasih tercatat dalam sejarah sastra Indonesia sebagai sastrawati angkatan Balai
Pustaka yang merupakan kelompok sastrawan awal dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern. Selasih membangun kekuatan jiwa, pikiran dan watak serta
sifat tawakkal pada para tokohnya sehingga para tokoh tersebut selalu mampu
mengatasi segala permasalahan yang ada walaupun harus berjuang sendiri tanpa
bantuan dari manapun dan siapapun.
Motif penciptaan karya sastra Selasih ini berawal dari
peristiwa yang nyata (realistik) dan meninggalkan pesan khusus serta merupakan
pencerminan kehidupan yang tidak lepas dari latar sosial, kebudayaan dan adat
istiadat masyarakat pada saat itu terutama masyarakat di daerah tempat Selasih
tinggal. Karya sastra Selasih ini pada umumnya juga berawal dari tema. Tema
novel Selasih yang berjudul Kalau Tak
Untung ini sangat kental tentang takdir dan emansipasi wanita yang bersifat
didaktik namun berlandaskan cinta kasih serta meletakkan dasar perjuangan para
wanita berlandaskan sifat-sifat luhur dan berbudi tinggi. Novel Kalau Tak Untung menunjukkan pemikiran
Selasih tentang kedudukan wanita di dalam rumah tangga dan masyarakat. Selasih
juga menuangkan tentang gagasan cinta pada novel Kalau Tak Untung karangannya itu sehingga membuat novelnya tersebut
memiliki tempat yang amat penting tentang kedudukan wanita di tengah masyarakat,
khususnya kedudukan seorang istri. Dalam novel Kalau Tak Untung ini, Selasih mengumpamakan bahwa sebuah rumah
tangga disini merupakan cerminan pembinaan rumah tangga bangsa, seperti yang
diungkapkan Selasih bahwa seorang pengarang pada zaman novel itu ditulis ialah
pejuang yang ingin memerdekakan tanah air. Secara simbolis, kemerdekaan adalah
suatu pembebasan dari segala hal yang mengekang kebahagiaan.
Dalam novel Kalau
Tak Untung ini, Selasih juga
menggunakan bahasa daerahnya yang akan sedikit susah untuk dimengerti bila para
pembaca tersebut tidak lah berasal dari daerah yang sama dengannya. Jadi, para
pembaca tersebut akan mengira-ngira arti dari bahasa yang digunakan Selasih
itu. Pada novel ini, Selasih ingin menunjukkan tentang takdir yang menentukan
hidup manusia dapat berada di antara posisi untung
ataupun tak untung. Dalam novel ini, Selasih lebih mengeksplorasi tentang jodoh,
cinta, perkawinan, takdir, dan kematian. Novel ini juga memberikan peringatan
kepada generasi muda untuk dapat bersikap tegas dan konsisten, tidak ragu-ragu
bila sudah mengambil keputusan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar