اَللّه is Always With Me

Rabu, 23 April 2014

Hubungan Karya Sastra dan Pengarang (Novel: Kalau Tak Untung)

Novel yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) ini merupakan novel yang dikarang  oleh salah satu seorang wanita novelis pertama atau pujangga putri pertama saat itu yang paling berbakat di Hindia Belanda, dia bernama Sariamin Ismail. Namun, pada novel Kalau Tak Untung ini Sariamin Ismail menggunakan nama samaran yaitu Selasih. Sariamin Ismail dilahirkan di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909, dan meninggal pada usia 86 tahun. Sariamin Ismail, sastrawan yang pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukittingi (1928-1930) ini juga memiliki beberapa nama Samaran lainnya yaitu Seleguri, Sekejut Gelingging, Seri Tanjung Dahlia, Seri Gunting, Seri Gunung, Bunda Kanduang, Mande Rubiah, dan Ibu Sejati. Sariamin Ismail menggunakan beberapa nama samaran tersebut untuk menghindari penciuman pihak keamanan (polisi) kolonial dan demi perjuangan.

    Sariamin Ismail menemukan nama Selasih sebagai salah satu pilihan nama samarannya itu saat dia secara tak sengaja mulai bermimpi untuk menjadi pujangga pada tahun 1932. Nama Selasih adalah nama “sejenis tumbuh-tumbuhan yang keadaannya hampir sama dengan Seleguri: tak berguna, bunga yang amat kecil dan tak berseri serta hanya dicari sebagai obat demam saja. Pada tahun 1933 itu, dia selesai menulis novel Kalau Tak Untung tersebut. Dia merasa ragu menentukan dengan nama apa yang akan digunakan sebelum novelnya itu diterbitkan. Awalnya dia berniat menggunakan nama Ibu Sejati tetapi karena nama itu sudah dikenal luas sebagai nama seorang penulis yang bersikap melawan kebijakan pemerintah colonial, akahirnya dia pun memilih nama Selasih tersebut. Novel Kalau Tak Untung miliknya itu mendapatkan apresiasi yang baik dari Datuk Madjoindo melalui radio setelah beberapa hari diluncurkan.

Selasih lulus SD 5 tahun (Gouvernement School) pada tahun 1921, kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah guru (Meisjes Normaal School) dan tamat pada tahun 1925. Setelah lulus dari sekolah guru itu lah, selasih mulai mengeluti dunia Pendidikan. Pada Tahun 1925, Selasih mengajar di Bengkulu, namun tidak lama kemudian Selasih diangkat sebagai kepala sekolah. Tahun 1930 Selasih dipindahkan ke Padangpanjang, tahun 1939 Selasih dipindahkan ke Aceh dan di daerah ini hanya bertahan dua tahun. Mulai tahun 1941 ia mengajar di Kuantan sampai tahun 1968 Selasih masih terus berkecimpung di dunia pendidikan di daerah Riau. Selasih juga pernah menjadi anggota DPRD Riau (1947-1948), pernah menjadi anggota organisasi politik Indonesia Muda dan Gerakan ingin Merdeka.

Selama masih menjadi guru, Selasih juga berperan aktif dalam pertunjukkan sandiwara tentang pendidikan. Selasih mementaskan sejumlah sandiwaranya itu di Kuantan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan lain-lain. Bagi Selasih, menulis di zaman penjajahan itu tidaklah mudah karena adanya berbagai pembatasan terhadap karya tulis dan juga pengarangnya yang harus siap mempertanggungjawabkan ide-ide yang dituangkan dalam karya tulisnya itu. Selasih pun selalu merasa terancam bila terbukti dalam karyanya itu terbukti adanya perlawanan terhadap rezim penjajah. Pada zaman itu pengarang juga menjadi pejuang demi kemerdekaan tanah air meskipun hanya melalui tinta dan kertas serta pikiran-pikirannya.

Selasih terdorong untuk menulis yaitu mulai bulan Mei 1926, saat dia masih menjadi guru di Matur. Seorang guru yang pernah mendidik Selasih yang bernama Sitti Noer Mariah Naro sedikit memaksa Selasih menulis untuk majalah Assyarag yang terbit di Padang. Majalah tersebut adalah majalah milik Persatuan Guru Perempuan dan banyak mendorong bakat-bakat baru karena memberikan kesempatan  pada setiap orang untuk menuangkan gagasan-gagasannya yang inovatif. Selasih mulai terlihat perkembangan bakat menulisnya setelah dia pindah di Lubuk Sikaping pada tahun 1927. Di tempat bekerjanya itu lah, Selasih lebih menemukan bermacam-macam bacaan yang mendorong bakatnya untuk menulis dan terlebih lagi saat itu selasih bertemu dengan Abdul Latief yang memperkenalkannya terhadap majalah Seri Pustaka, Panji Pustaka, dan Bintang Hindia. Saat Selasih pindah di Bukittinggi, wawasannya menjadi lebih luas dengan adanya beberapa surat kabar yaitu Persamaan, Sinar Sumatera, dan Sumatera Bond. Selasih pun mengembangkan bakatnya menulis pada media massa tersebut baik di bidang sastra, seni-budaya, pendidikan, dan juga politik.

Selasih merasa senang dan puas saat novel karangannya yang berjudul Kalau Tak Untung telah diterbitkan oleh Balai Pustaka karena dia mendapat imbalan dari Balai Pustaka yang benar-benar membanggakan. Selasih yang melewati tiga zaman yaitu zaman Belanda, Jepang dan Kemerdekaan, memperoleh banyak pengalaman berharga. Selasih juga sempat berhenti menulis sejak penjajahan Jepang dan dia kembali menulis lagi pada awal tahun 1980-an. Pada kemunculannya yang kedua ini, Selasih berkenan mengarang dan menulis kembali karena dorongan dari Menteri P dan K yaitu Dr. Daoed Joesoef yang menemuinya pada 18 November 1981 yang memintanya untuk menulis lagi. Selasih pun menyanggupinya dan pada tahun1986 dia berhasil menulis dua puluh satu naskah yang tebalnya rata-rata 200 halaman dan sebagiannya diterbitkan dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah yang dikelola pihak P dan K. Buku-bukunya itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau.

Novel terakhir karangan Selasih berjudul Kembali ke Pangkuan Ayah diterbitkan oleh Mutiara Sumber Widya pada tahun 1986. Novel ini diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka pada tahun 1977. Dari berbagai karya sastra karangannya itu, Selasih tercatat dalam sejarah sastra Indonesia sebagai sastrawati angkatan Balai Pustaka yang merupakan kelompok sastrawan awal dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Selasih membangun kekuatan jiwa, pikiran dan watak serta sifat tawakkal pada para tokohnya sehingga para tokoh tersebut selalu mampu mengatasi segala permasalahan yang ada walaupun harus berjuang sendiri tanpa bantuan dari manapun dan siapapun.

Motif penciptaan karya sastra Selasih ini berawal dari peristiwa yang nyata (realistik) dan meninggalkan pesan khusus serta merupakan pencerminan kehidupan yang tidak lepas dari latar sosial, kebudayaan dan adat istiadat masyarakat pada saat itu terutama masyarakat di daerah tempat Selasih tinggal. Karya sastra Selasih ini pada umumnya juga berawal dari tema. Tema novel Selasih yang berjudul Kalau Tak Untung ini sangat kental tentang takdir dan emansipasi wanita yang bersifat didaktik namun berlandaskan cinta kasih serta meletakkan dasar perjuangan para wanita berlandaskan sifat-sifat luhur dan berbudi tinggi. Novel Kalau Tak Untung menunjukkan pemikiran Selasih tentang kedudukan wanita di dalam rumah tangga dan masyarakat. Selasih juga menuangkan tentang gagasan cinta pada novel Kalau Tak Untung karangannya itu sehingga membuat novelnya tersebut memiliki tempat yang amat penting tentang kedudukan wanita di tengah masyarakat, khususnya kedudukan seorang istri. Dalam novel Kalau Tak Untung ini, Selasih mengumpamakan bahwa sebuah rumah tangga disini merupakan cerminan pembinaan rumah tangga bangsa, seperti yang diungkapkan Selasih bahwa seorang pengarang pada zaman novel itu ditulis ialah pejuang yang ingin memerdekakan tanah air. Secara simbolis, kemerdekaan adalah suatu pembebasan dari segala hal yang mengekang kebahagiaan.

Dalam novel Kalau Tak Untung ini,  Selasih juga menggunakan bahasa daerahnya yang akan sedikit susah untuk dimengerti bila para pembaca tersebut tidak lah berasal dari daerah yang sama dengannya. Jadi, para pembaca tersebut akan mengira-ngira arti dari bahasa yang digunakan Selasih itu. Pada novel ini, Selasih ingin menunjukkan tentang takdir yang menentukan hidup manusia dapat berada di antara posisi untung ataupun tak untung. Dalam novel ini, Selasih lebih mengeksplorasi tentang jodoh, cinta, perkawinan, takdir, dan kematian. Novel ini juga memberikan peringatan kepada generasi muda untuk dapat bersikap tegas dan konsisten, tidak ragu-ragu bila sudah mengambil keputusan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar